Rasulullah Muhammad SAW tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama dan negara, tetapi juga sebagai seorang guru yang mengajarkan Al-Qur’an, hikmah, dan nilai-nilai kehidupan kepada umat manusia. Artikel ini membahas peran kenabian dalam konteks pendidikan, khususnya sebagai pendidik umat melalui Al-Qur’an dan sunnah, serta implikasinya terhadap kedudukan guru dalam Islam. Penelaahan ini merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, serta literatur klasik Islam, dengan penekanan pada pentingnya belajar dan mengajar dalam tradisi kenabian.
1. Rasulullah sebagai Guru Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an secara eksplisit menetapkan bahwa Rasulullah SAW diutus sebagai guru dan pengajar. Dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 2, Allah SWT berfirman:
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Ayat ini menegaskan bahwa tugas utama Nabi adalah membacakan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa, dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW adalah guru sejati umat manusia, yang diutus Allah untuk mendidik dan mencerdaskan akal serta hati manusia.
2. Mengajarkan Al-Qur’an sebagai Tugas Mulia
Menjadi guru yang mengajarkan Al-Qur’an merupakan profesi yang sangat mulia dalam pandangan Islam. Hal ini karena seorang guru Al-Qur’an tidak hanya mentransmisikan ilmu, tetapi juga menyampaikan wahyu ilahi kepada umat, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Dalam hadis disebutkan:
"Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari)
3. Mengajarkan Hikmah: Antara Ilmu dan Kebijaksanaan
Menurut kitab Al-Mujaawan fi al-Nazhair, hikmah dimaknai sebagai kefahaman mendalam, kebijaksanaan dalam bersikap, serta ilmu yang berlandaskan wahyu. Rasulullah SAW bukan hanya mengajarkan teks Al-Qur’an, tetapi juga maknanya melalui hikmah, yakni dengan keteladanan dan kebijaksanaan. Proses pembelajaran ini mencakup dimensi intelektual dan spiritual, yang menjadikan pendidikan Rasulullah bersifat holistik.
4. Keutamaan Amal Baik dan Pembelajaran
Islam mendorong umatnya untuk melakukan amal saleh, karena setiap amal yang baik akan mendatangkan kebaikan pula dari Allah SWT. Proses belajar dan mengajar termasuk dalam amal yang sangat utama. Suatu riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah SAW pernah memasuki masjid dan menjumpai dua kelompok: satu kelompok berzikir dan membaca Al-Qur’an, dan kelompok lain sedang belajar dan mengajar. Rasulullah SAW bersabda:
"Keduanya baik. Namun aku diutus sebagai pengajar."
Lalu beliau duduk bersama kelompok yang sedang belajar dan mengajar.
Riwayat ini menunjukkan prioritas tinggi dalam Islam terhadap kegiatan pendidikan dan pengajaran.
5. Menjadi Guru: Mewarisi Tugas Kenabian
Dengan menjadi guru, seseorang telah mengambil bagian dalam misi kenabian. Perbedaannya, Rasulullah mengajarkan kepada umat yang mayoritas buta huruf, sementara guru saat ini mengajar dalam masyarakat yang lebih melek aksara dan informasi. Namun esensinya tetap sama: menyampaikan kebenaran dan membimbing umat.
6. Ilmu yang Terus Berkembang dan Kewajiban Muthala'ah
Ilmu bersifat dinamis dan terus berkembang. Oleh karena itu, baik guru maupun murid dituntut untuk senantiasa memperbarui pemahaman dan pengetahuannya. Proses muthala’ah (kajian dan telaah ulang) menjadi bagian penting dalam perjalanan intelektual seorang guru. Bahkan, guru tidak luput dari kesalahan sehingga proses belajar yang berkelanjutan sangat ditekankan.
7. Sikap Rasulullah dalam Mengajar: Tidak Memberatkan
Rasulullah SAW dikenal sebagai pendidik yang lembut, tidak menyulitkan, dan penuh kasih. Prinsip ini harus menjadi pedoman bagi para guru dalam menjalankan tugasnya. Dalam berbagai riwayat, Rasulullah senantiasa menekankan kemudahan dan kasih sayang dalam mendidik umatnya.
8. Teladan dalam Rumah Tangga: Kisah Aisyah
Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan bahwa Rasulullah memberi pilihan kepada para istrinya untuk memilih antara kehidupan dunia atau kehidupan bersama beliau. Sebagaimana termaktub dalam Q. S. Al-Ahzab: 28
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasaannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (ridha) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar."
Sayyidah Aisyah, istri yang paling dicintai memilih untuk tetap bersama Rasulullah, menandakan kecintaan pada perjuangan akhirat dan ilmu yang dibawa Nabi. Rasulullah pun merasa sangat bahagia atas pilihan ini.
9. Kesempurnaan Rasulullah sebagai Pengajar
Sejarah mencatat bahwa Rasulullah adalah pengajar agung bagi siapa pun, tanpa memandang latar belakang sosial. Beliau menjadi guru bagi para sahabat, anak-anak, perempuan, dan bahkan para musuhnya yang kemudian masuk Islam. Dengan kesempurnaan akhlak dan pendekatan yang lembut, Rasulullah menanamkan nilai-nilai pendidikan yang terus menjadi rujukan hingga kini.
Kesimpulan
Peran Rasulullah SAW sebagai guru merupakan salah satu dimensi terpenting dalam kenabiannya. Mengajarkan Al-Qur’an dan hikmah adalah tugas utama beliau yang diwariskan kepada para guru di sepanjang zaman. Oleh karena itu, menjadi guru bukan hanya profesi, melainkan bentuk keteladanan kenabian yang memerlukan ilmu, kebijaksanaan, kasih sayang, dan komitmen untuk terus belajar.
Kajian oleh: Bu Nyai Alfafa
0 Comments